Pelantar digital (digital platform) ini efektif dalam memperkaya jejaring tetapi juga riskan menimbulkan gesekan hingga banyak warganet menghadapi masalah hukum. Perlu siasat agar selamat dan justru mengambil banyak manfaat dari luasnya pergaulan di dunia virtual itu.
Atas inisiatif seorang pakar pemasaran, strategi, dan digital terkemuka Indonesia Handi Irawan Djuwadi dicetuskanlah Hari Media Sosial Nasional pada 10 Juni 2015, sehingga hari ini (10 Juni 2024) merupakan peringatan yang ke-9 kalinya. Tujuannya tak lain untuk membangun kesadaran masyarakat agar bijak dalam membuat dan menyebarkan konten di media sosial, juga menjaga netiket selama bergaul di lingkungan daring.
Bagai pedang bermata dua, media sosial yang mampu menebas batas ruang dan waktu, di satu sisi memberikan kemudahan dalam aktivitas komunikasi dengan khalayak luas, selain sarana aktualisasi dan promosi diri. Pada bagian lain, bila tak digunakan dengan bijak media sosial dapat mengantar penggunanya harus berhadapan dengan hukum.
Pepatah yang menyebutkan “Mulutmu adalah harimaumu” seiring pesatnya perkembangan medsos turut bertambah “Jari-jarimu menjadi macanmu”. Bila dahulu penegakan hukum fokus menangani kejahatan di dunia nyata, kini juga merangsek ke ranah siber. Karena tak hanya beraksi di tengah masyarakat, pelaku kriminal juga bergentayangan di media sosial.
Bagaimana ragam perilaku manusia di kehidupan nyata pada gilirannya terduplikasi ke dunia maya. Maka perangkat hukum pun bergegas menyesuaikan dengan terbitnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan sejumlah penyesuaian dalam hal upaya pencegahan dan penanganannya. Semisal gencarnya edukasi literasi digital yang digalakkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar masyarakat melek digital sehingga mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia seraya menjaga diri tidak terjerumus menjadi pelaku atau korban kejahatan di dalamnya.
Sebagaimana keharusan masyarakat menjaga etika dalam pergaulan sosial, begitu pula aturan serupa berlaku selama bergaul di media sosial. Ketika warganet tak mengindahkan perilaku dan tata krama, maka banyak di antaranya telah memasuki jeruji besi oleh sebab lisan atau jari yang tak terkendali.
Sejumlah kasus hukum yang lazim terjadi di medsos seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penipuan, perundungan hingga peretasan. Adapula figur publik yang bertikai di medsos lalu berlanjut ketemu fisik untuk adu jotos di ring tinju. Sungguh, realitas dunia –baik nyata maupun maya– kerap menyuguhkan tontonan yang menggelitik akal sehat.
Media sosial adalah buah dari kemajuan teknologi komunikasi. Kehadirannya akan menjadi berkah atau musibah amatlah bergantung pada penggunanya. Mereka yang terjerembab ke lembah masalah umumnya warganet rendah literasi, dengan sesuka hati membuat dan menyebar konten “sampah” nirfaedah atau malah mengarah pada unsur kejahatan seperti kabar bohong hingga menghasut massa.
Sementara banyak pula yang menangguk untung dengan memanfaatkan jejaring sosial untuk promosi diri, keahlian, atau usaha rintisan hingga meraih kesuksesan gemilang berkat luasnya akses yang dapat dijangkau.
Kegilaan yang terjadi
Di Indonesia, Hari Media Sosial Nasional baru diperingati selama sembilan tahun terakhir. Namun sejatinya sejarah medsos telah bermula dari beberapa dekade sebelumnya.
Sebelum menelusuri lorong sejarahnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dulu konsep medsos yang salah satunya dikemukakan B.K. Lewis. Melalui buku berjudul “Social Media and Strategic Communication Attitudes and Perceptions among College Students”, ia menyebut bahwa media sosial merupakan label yang mengacu pada teknologi digital yang berpotensi membuat semua orang saling terhubung serta berinteraksi dan berbagi pesan.
Bercerita tentang kemunculan medsos terdapat banyak versi yang diyakini. Ada yang menarik jauh ke belakang di tahun 1844 ketika penemu mesin telegraf, Samuel Morse, pada 24 Mei untuk pertama kalinya mengirim pesan kepada publik berupa serangkaian titik dan garis elektronik yang diketik pada mesin telegraf.
Lantas lahirnya jaringan media sosial Six Degrees di tahun 1997 juga layak diakui sebagai bagian tahapan sejarah medsos, meski keberadaannya tidak berumur panjang.
Kemudian kehadiran Friendster tahun 2001 adalah awal perkembangan media sosial mulai digandrungi oleh banyak orang. Mengusung konsep baru dengan banyak fitur, membuat server Friendster kala itu sering ngelag. Namun begitu, tidak menyurutkan antusiasme penggunanya untuk saling terhubung melalui media sosial.
Akhirnya tahun 2003 hingga 2005 menjadi era kelahiran banyak media sosial, yang mampu bertahan sampai sekarang. MySpace, LinkedIn, Youtube, WordPress, Facebook, dan Twitter adalah deretan nama medsos yang lahir di era ini dan eksis di Tanah Air.
Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki data yang mendapati mayoritas anak usia lima tahun ke atas di Indonesia sudah mengakses internet untuk media sosial dengan persentasenya mencapai 88,99 persen alias yang terbesar dibandingkan tujuan lainnya dalam mengakses internet.
Media sosial dengan jutaan pengguna di mana setiap warganet memiliki setidaknya delapan akun medsos, serta durasi akses –menurut survei Global Web Indeks– selama 148 menit per hari, maka mampu melahirkan kekuatan dahsyat.
Kegilaan apa saja yang bisa terjadi di media sosial, berikut beberapa di antaranya:
– Ubah nasib orang. Ada orang biasa yang tiba-tiba populer karena cerita tentang dirinya atau konten yang dia unggah viral, ia pun mendadak menjadi selebritas yang panen puja-puji dan apresiasi dari para warganet. Namun adapula tokoh atau figur publik yang seketika namanya jatuh dihujat netizen, dikuliti semua celanya dan meringkuk dalam keterpurukan.
Begitulah antara lain gambaran kekuatan media sosial yang mampu mengangkat derajat seseorang atau menjatuhkannya. Tetapi baik apresiasi maupun sanksi sosial di jagat maya itu biasanya tidak berlangsung lama, karena di lain waktu warganet sudah disibukkan dengan isu viral yang lain. Makanya jangan bersikap “aji mumpung” saat tenar karena viral, tidak perlu juga terlalu baper ketika dinyinyiri warga medsos sepanjang kita tidak melakukan kesalahan fatal yang merugikan orang lain.
– Gerakan sosial. Jagat yang padat “penduduk” itu juga kerap melahirkan inisiasi mulia dalam hal menolong sesama seperti saat terjadi bencana alam, juga kampanye perlindungan satwa atau lingkungan dan lainnya. Bahkan pengumpulan donasi dengan mudah dilakukan dalam semangat kebersamaan meski sebagian besar dari mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
– Menciptakan tekanan. Sikap julid warganet yang bersatu dalam satu isu, sering berhasil mengungkap kasus muncul ke permukaan dan menjadi perhatian pihak berwenang sehingga mendapat penanganan serius. Tidak berhenti di situ, secara solid mereka kompak mengawal kasus yang diviralkan itu hingga tuntas. Di sini terlihat betapa media sosial ampuh menjalankan fungsi kontrol sosial.
– Interaktif. Inilah yang membedakan dengan media massa. Di medsos bisa berlangsung komunikasi banyak arah sehingga menimbulkan keseruan tersendiri. Ditambah lagi sifat masyarakat Indonesia yang umumnya gemar berkerumun (meski secara virtual), mengobrol, bercerita tentang apa saja, benar-benar mencirikan masyarakat sosial. Tak heran bila medsos di Indonesia tergolong paling berisik. Seperti Jakarta yang pernah dinobatkan sebagai kota paling cerewet di dunia oleh sebuah lembaga independen di Paris Semiocast, melebihi Tokyo dan New York. Hasil riset lembaga itu mencatat warga Jakarta bisa mengunggah segala kegalauan, keresahan, keluh-kesah dan lain-lainnya hingga 10 juta cuitan setiap hari.
– Media citra. Seperti panggung pencitraan, orang-orang sibuk membangun citra istimewa di media sosial, yang bisa sama sekali berbeda dengan kehidupan yang sesungguhnya di lingkungan nyata. Bahkan segala cara kadang ditempuh demi menciptakan kesan seolah-olah “wah” di linimasa. Banyak aksi fleksing dipertontonkan oleh orang-orang kaya baru pada kategori tanggung, karena orang kaya yang sebenarnya tentu tidak lagi membutuhkan validasi apalagi di lingkungan online.
– Sumber informasi. Perkembangan yang cukup menakjubkan adalah ketika media sosial telah menjadi sumber informasi dan makin menggeser fungsi media massa. Hasil survei Kemenkominfo bersama Katadata Insight Center (KIC) menyebutkan bahwa media sosial kini menjadi rujukan informasi masyarakat Indonesia dengan persentase 72,6 persen dan bertahan dari tahun 2020 hingga 2022 mengalahkan televisi dan portal media daring.
Para pejabat pemerintah — utamanya pejabat muda–, tokoh publik, juga selebritas, kini terbiasa merilis pernyataan atau berbagi kabar melalui akun medsosnya yang kemudian dikutip wartawan sebagai materi berita untuk publikasi media massa. Sudah semudah itu mencari materi berita berkat eksistensi medsos.
Pesona medsos tak sampai di situ, karena menjadi tempat kerumunan manusia, banyak redaksi media massa membuat akun resmi medsos di berbagai platform untuk menyebar konten demi menaikkan tingkat ketertontonan/keterbacaan berita. Ini menjadi fenomena media arus utama mengejar audiens hingga ke medsos.
Kemajuan teknologi senantiasa menghadirkan kecanggihan yang memberikan kemudahan. Janganlah kemudahan menyuburkan kemalasan, jangan pula kecanggihan membuat gagap dan euforia berlebih hingga kita terkesan kampungan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024