Terjadinya “darurat pangan”, tentu tidak semata-mata disebabkan oleh adanya El Nino ataupun dampak perubahan iklim lainnya, namun juga diakibatkan oleh lemahnya perencanaan pangan yang ada. Itu sebabnya, dibutuhkan perencanaan pangan yang berkualitas sebagai mitigasi dan antisipasi jika darurat pangan terjadi.
Erat kaitan dengan perencanaan pangan ini, paling tidak, ada 5 pasal dalam Bab III Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengatur pentingnya perencanaan pangan.
Dalam Pasal 6 dijelaskan bahwa perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Lalu di Pasal 7 dinyatakan perencanaan pangan harus memperhatikan: pertumbuhan dan sebaran penduduk; kebutuhan konsumsi pangan dan gizi; daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan; pengembangan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan pangan; kebutuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan pangan; potensi pangan dan budaya lokal; rencana tata ruang wilayah; dan rencana pembangunan nasional dan daerah.
Di Pasal 8 disebutkan perencanaan pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. Perencanaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
Perencanaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perencanaan pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 9 ditegaskan (1) Perencanaan pangan tingkat nasional dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi. (2) Perencanaan pangan tingkat provinsi dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan provinsi dan memperhatikan kebutuhan dan usulan kabupaten/kota serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana pangan nasional.
(3) Perencanaan pangan tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota dan rencana pangan tingkat provinsi serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana pangan nasional.
Sedangkan di Pasal 10 dijelaskan (1) Perencanaan pangan diwujudkan dalam bentuk rencana pangan.
(2) Rencana pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rencana pangan nasional;
b. rencana pangan provinsi; dan
c. rencana pangan kabupaten/kota.
(3) Rencana pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang.
Maka ke depan perencanaan pangan mutlak dirancang dan dirumuskan agar pembangunan pangan yang dilakukan dapat meraih harapan dan keinginan seperti yang diamanatkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Perencanaan pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perencanaan pangan menjadi sangat penting untuk diatur, agar penyelenggaraan pangan dapat seirama dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, di samping juga untuk mengantisipasi pembangunan pangan ke depan.
Dalam upaya mewujudkan Indonesia jadi Lumbung Pangan Dunia tahun 2045, pengaturan perencanaan pangan mutlak ditetapkan, agar Indonesia memiliki arah dan target yang jelas untuk meraihnya.
Tindak lanjut meraih Lumbung Pangan Dunia, tentu harus diawali dengan membuat rencana besar terlebih dahulu.
Dalam pola dan dokumen perencanaan, perlu memperjelas ke dalam sebuah grand desain atau master plan, yang kemudian disiapkan dalam bentuk road map pencapaian.
Selain itu, seluruh elemen masyarakat juga harus memiliki keberanian bahwa apa yang ingin kita raih, perlu menerapkan persamaan persepsi.
Setiap perencanaan pasti akan memilih pendekatan atau model yang paling sesuai dengan kondisi objektif saat ini.
Selama ini ada pendekatan yang sifatnya politis. Lalu ada pendekatan partisipatif yang dilaksanakan dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Ada juga pendekatan atas-bawah (top down-bottom up), dan yang terakhir adalah pendekatan teknokratik yang menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan.
Memang sekalipun isu swasembada pangan telah mengemuka sejak puluhan tahun lalu, namun hingga kini, Indonesia belum memiliki desain perencanaan yang utuh, holistik dan komprehensif terkait swasembada pangan.
Oleh karena itu, ke depan Indonesia perlu memiliki regulasi tentang perencanaan pangan, baik tingkat nasional atau daerah.
Tidak hanya itu, berbagai kendala pencapaian swasembada pangan juga harus segera dituntaskan. Kelembagaan pangan idealnya tidak diotak-atik seiring pergantian pemerintahan. Karena bangsa ini memerlukan lembaga yang mengatur urusan pangan yang stabil dengan perencanaan yang matang.
Apalagi kehendak politik untuk mewujudkan swasembada pangan, senantiasa muncul dari setiap Pemerintahan yang diberi amanah untuk mengelola bangsa dan negeri tercinta.
Sehingga, dalam tindakan politik konkretnya, Pemerintah harus senantiasa menggarapnya secara optimal agar swasembada pangan benar-benar terwujud.
Swasembada Pangan
Pangan sendiri sebagaimana disuratkan dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Sedangkan swasembada pangan atau kemandirian pangan merupakan kondisi dimana suatu daerah mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam kawasannya sendiri, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan budaya.
Cita-cita Pemerintah untuk meraih swasembada pangan, sah-sah saja untuk dikumandangkan. Terlebih bagi bangsa ini yang telah membuktikan diri mampu menggapai swasembada beras.
Namun harus digarisbawahi bahwa pangan bukan semata beras. Artinya, bukan sebuah jaminan bila bangsa ini telah mampu meraih dua kali swasembada beras, maka secara otomatis akan mampu mewujudkan swasembada pangan. Ingat, pangan bukan semata beras.
Upaya menggapai swasembada pangan, jelas memerlukan proses yang cukup panjang dan menuntut banyak pengorbanan.
Kunci utama pencapaiannya, dibutuhkan adanya perencanaan pangan yang berkualitas ditopang oleh data berkualitas.
Dengan adanya perencanaan pangan yang utuh, holistik dan komprehensif, maka mimpi dan harapan swasembada pangan akan terwujud di atas Tanah Merdeka ini.
*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2024