Pada Jumat (24/5) malam waktu setempat, sejumlah konser pinggir jalan digelar di Paviliun Wenchang di Guiyang, ibu kota Provinsi Guizhou, China barat daya. Para pelajar China dan asing dari 30 lebih negara dan kawasan, termasuk Thailand, Indonesia dan Rusia, membawakan pertunjukan musik yang meriah kepada para penonton.
Di panggung konser pinggir jalan, Kurniawan mengenakan topi khas kampung halamannya di Pulau Jawa, dan menyanyikan tiga lagu berbahasa Mandarin, dengan beberapa bagian dibawakan dalam bahasa ibunya, yakni bahasa Indonesia.
Itu adalah kali pertama bagi Kurniawan tampil di panggung luar kampus dan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Mandarin di hadapan banyak warga China, yang membuatnya senang sekaligus gugup, katanya.
Kurniawan mengatakan kepada Xinhua bahwa dia beruntung dan bangga dapat menunjukkan bahasa dan budayanya kepada masyarakat China, dan “ini adalah pengalaman yang sangat indah”.
Kurniawan saat ini menempuh pendidikan administrasi bisnis di Universitas Kaili di provinsi tersebut. Sebagai salah satu kaum milenial, dia gemar mendengarkan lagu-lagu China sejak SMA, dan datang untuk menempuh pendidikan di China pada 2018.
Prefektur Otonom Etnis Miao dan Dong Qiandongnan, tempat Universitas Kaili berada, memiliki populasi lebih dari 4 juta etnis minoritas, dengan lebih dari 3,6 juta di antaranya berasal dari kelompok etnis Miao dan Dong.
Etnis minoritas di s pandai menyanyi dan menari, dan lagu-lagu etnis Miao dan Dong yang indah serta menyentuh mengisahkan tentang kehidupan mereka yang manis dan menyenangkan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencantumkan lagu luar biasa kelompok etnis Dong ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan pada 2009, sebagai pengakuan atas signifikansi budayanya.
Kurniawan mengatakan bahwa banyak teman kuliahnya merupakan etnis minoritas yang bisa menyanyikan lagu-lagu indah, dan dia suka mendengarkan lagu-lagu etnis Miao. Bahkan meski hanya memiliki sedikit pemahaman tentang maknanya, dia cukup menikmati ritme dan melodinya, dan musiknya juga membantu Kurniawan mendapatkan banyak teman dari kalangan warga China.
Berbeda dari konser pada umumnya, konser pinggir jalan di Guiyang, yang sebagian besar dibawakan oleh band-band dan pencinta musik lokal, menawarkan panggung bagi masyarakat umum untuk unjuk gigi serta menarik banyak wisatawan dan warga untuk menonton berbagai pertunjukan di jalanan yang ramai dan di sejumlah objek wisata.
Musik tidak mengenal batas, dan budaya etnis yang penuh warna di Guizhou memungkinkan lebih banyak warga asing dapat merasakan pesona unik budaya tradisional China.
Hosea Inzaghi, seorang pelajar Generasi Z Indonesia, adalah teman sekelas Kurniawan sekaligus gitaris tim konsernya. Inzaghi belajar bermain gitar secara otodidak sejak SMA, dan sudah berkali-kali tampil di panggung.
Itu adalah pertama kalinya dia berdiri di panggung konser pinggir jalan dan tampil di hadapan begitu banyak penonton, ujarnya.
“Dulu saya sering tampil bersama band saya, tapi, kali ini hanya saya yang tampil, yang awalnya membuat saya gugup. Namun, sambutan penonton sangat hangat, dan suasananya menyenangkan, jadi saya lebih santai dan sangat menikmati panggungnya,” ungkap Inzaghi.
Konser pinggir jalan tidak memerlukan tiket dan tidak ada jarak antara pengisi acara dan penonton, lanjut Inzaghi seraya menambahkan bahwa dia bersyukur atas kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
Dengan musik sebagai jembatannya, para pemuda asing dan China mengangkat light stick dan membenamkan diri mereka dalam musik.
Jiang Tong, seorang mahasiswa tahun kedua di Perguruan Tinggi Kejuruan dan Teknik Guiyang, sering menghadiri konser pinggir jalan pada akhir pekan.
“Meski kami tidak saling mengenal, kami dapat merasakan nikmatnya alunan musik di sini, dan musik menyatukan kami,” tutur dia.
Data menunjukkan bahwa hingga kini, lebih dari 30 pertunjukan telah digelar di Paviliun Wenchang, menarik hampir 70.000 penonton dan lebih dari 1,08 miliar penonton daring.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024