Menjelajah surga wisata Mentawai – ANTARA News

Kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang dipegang teguh suku Mentawai asli cenderung berkawan dengan gempa …,

Jakarta (ANTARA) – Di antara riuhnya destinasi-destinasi wisata populer dan favorit seperti Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta plus Borobudur, Pantai Senggigi, dan Danau Toba, masih ada sejumlah wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara, bahkan pesohor dunia mengunjungi destinasi wisata sunyi seperti Mentawai.

Mereka umumnya memburu keunikan, kekhasan lokal, keasrian, originalitas, otentisitas alami, serta ketenangan yang tak pernah ada di destinasi manapun.

Sebagian dari wisatawan dan pesohor bisa saja sudah jenuh dengan kemewahan yang serba artifisial dan ingin sekali-sekali back to nature  untuk penyegaran.

Sejumlah nama pesohor pernah berlibur ke Mantawai. Sebut saja Anthony Kiedis, Stella Maxwell, Paul Walker, dan Liam Hemsworth. Paul Walker, sebelum meninggal dalam kecelakaan kendaraan di AS, bahkan pernah membangun pondok sederhana di tengah hutan Mentawai tanpa fasilitas listrik.

Kendati infrastruktur konektivitas belum optimal ketersediaannya, dan dari aspek amenitas (fasilitas akomodasi dan pendukungnya) terbilang minimalis, serta posisinya pun di pojok Samudera Hindia yang sunyi, ribuan wisatawan mancanegara mendatangi Mentawai setiap tahunnya. Lantas ada apa dengan Mentawai?

Uniqueness apa yang ditawarkan di Mentawai? Tingginya ombak yang konsisten sepanjang tahun menjadi surga bagi pada peselancar, termasuk kelas pemula.

Bukan itu saja, setting pantai-pantainya yang indah, bersih dan berpasir putih, serta berair jernih dihiasi ikan berwarna warni dan terumbu karang yang indah pada taman-taman lautnya menawarkan sensasi tersendiri, dipadu dengan hijaunya kawasan hutan di sekitarnya.

Mentawai memiliki banyak pantai cantik tersembunyi yang belum terjamah. Jumlah pulau saja sekitar 100, tetapi hanya beberapa pulau utama yang dihuni.

Pada spot terbaiknya, tinggi ombak mencapai 7 meter. Tingginya gelombang menghadirkan gulungan ombak berbentuk barrel, seperti terowongan air yang amat menantang bagi para peselancar dunia.

Secara umum pantai barat Mentawai hingga Nias (Sumatera Utara) yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia berombak tinggi. Namun, di pantai barat Pulau Enggano (Bengkulu) tidak demikian.

Pola-pola gulungan ombak lainnya dapat ditemukan di Mentawai seperti macaronis, macas, green bush, thunders, teleskopik, macaronis right, minimacas, bat cave, rag left, dan lainnya.

Spot terbaik untuk berselancar adalah pantai barat Pulau Sipora dan Silabu (pulau Pagai Utara). Selain itu, masih ada spot-spot tersembunyi yang hanya diketahui peselancar tertentu saja.

Bagi wisatawan umum (non-peselancar profesional) tersedia berbagai pilihan destinasi untuk menikmati keindahan pantai dan bersnorkeling, seperti ke Pulau Awera, Pulau Aloita, Pulau Masokut, Pulau Siruso, serta Tua Pejat (pantai timur pulau Sipora) yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Mentawai.

Bagi wisatawan yang belum banyak mengenal Mentawai dapat memulai eksplorasinya dari Tua Pejat yang cukup banyak tempat menginap.

Pulau Sipora menawarkan ‘paket hemat’ pariwisata , mulai dari pantai bersih indah berair jernih dan tenang hingga spot untuk berselancar, serta air terjun di tengah hutan, semua ada di sini. Hanya, ketinggian ombaknya tidak semenantang pada spot terbaiknya yang berada di pulau lain.

Tak jauh dari Dermaga Tuapejat, dengan berjalan kaki menyusuri pantai yang bersih sejauh 700 meter, sampai ke Pantai Jati.

Di Pantai Jati, turis bisanya menikmati pemandangan alam bawah laut dengan snorkeling di sekitar bibir pantai. Jelang sore dapat bersantai sambil menikmati Matahari terbenam.

Sekitar 5 kilometer dari Dermaga Tuapejat, terdapat Pantai Mapadeggat, salah satu spot favorit para peselancar dan dikenal dengan ombak teleskopnya. Setiap pengunjung dapat belajar berselancar di sini.

Tidak hanya pantai, wisatawan dapat mengunjungi air terjun Pujujurung yang berair deras di Desa Goiso Oinan dan di tengah segarnya udara hutan. Lokasi ini dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan dari Dermaga Tuapejat.

Di depan Dermaga Tuapejat, terhampar Pulau Umat Siteu dengan hutan mangrovenya. Naik boat 5 menit sampai di pulau tersebut.

Tak jauh dari Pulau Sipora, adalah Pulau Awera yang menjadi salah satu destinasi dan resor cukup favorit dengan pantai yang eksotik dan ombak yang indah. Dengan air laut yang jernih, terumbu karang pada dasar laut tampak jelas.

Pesonanya tidak berhenti di situ, para wisatawan dapat mengeksplorasi  pemandangan dan suasana hutan tropis Mentawai.

Wilayah ini, khususnya Pulau Siberut, masih memiliki kawasan hutan primer yang cukup luas dengan sekitar 900 spesies flora, dan sejumlah species endemic primate seperti bokkoi (Macaca pagensis), lutung Mentawai (Presbytis ponteziani siberu), bilou (Hylobates klossi), simakobu (Simias concolor siberu), serta 19 spesies burung endemik.

Pulau Sipora yang relatif termaju dan terpadat penduduknya dan menjadi lokasi Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Mentawai (Kota Tuapejat), jumlah penduduknya tak sampai 10.000, sedangkan luas keseluruhan pulau ini 612 kilometer persegi, nyaris sama dengan luas Daerah Khusus Jakarta.

Dengan kepadatan penduduk tak sampai 16 jiwa per kilometer persegi, maka tekanan terhadap lingkungan alam relatif kecil. Maka, ekosistem bahari dan hutan tropis di Pulau Sipora masih relatif baik.

Budaya megalitik Mentawai juga menjadi daya tarik tersendiri. Wisatawan dapat melihat rumah tradisional mereka yang terbuat dari kayu, menyaksikan tarian adat, dan berinteraksi dengan masyarakat Mentawai asli yang ramah.

Rumah adat tradisional Mentawai (uma) menggunakan prinsip yang sama dengan rumah adat suku Baduy Dalam, yakni dibangun tanpa paku dan mengandalkan kekuatan simpul serta sambungan kayu/bambu (sambungan bertakik/berpasak).

Materialnya kayu dan bambu untuk struktur, pintu, dan dinding rumah, sedangkan untuk atap dari rumbia.

Masyarakat adat Mentawai telah berinteraksi dan beradaptasi dengan alam dengan cara mereka sendiri secara turun-temurun sejak tahun 500 SM.

Kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang dipegang teguh suku Mentawai asli cenderung berkawan dengan gempa (earthquake friendly) yakni, dengan menjaga kelestarian alam sebaik-baiknya.

Hutan dan vegetasi bakau yang masih relatif asli, selain menjadi sumber penghidupan, adalah juga pelindungan alam terbaik terhadap kemungkinan bencana.

Di samping masyarakat adat lokal yang menjaga kelestarian alam Mentawai dengan kearifan lokalnya, Pemerintah pun hadir melalui Balai Taman Nasional Siberut. Luas Taman Nasional Siberut sekitar 190.000 hektare.

Di luar kawasan taman nasional, ternyata terdapat kawasan hutan produksi konversi (54.856 hektare) dan kawasan hutan produksi (256.011 hektare) sehingga luas kawasan hutan termasuk taman nasional Siberut seluruhnya 491.917 hektare. Luas total wilayah daratan kabupaten kepulauan adalah 601.135 hektare.

Sesuai dengan setting alamnya, Mentawai tampaknya tidak pas untuk mass tourism.  Fungsi konservasi perlu dikedepankan, sedangkan pariwisata hanya menjadi ‘bonus’. Ekoturisme bahari menjadi andalan Mentawai.

Konektivitas laut dan udara

Pariwisata Mentawai mungkin tidak butuh banyak polesan, dalam arti tidak perlu objek-objek wisata buatan, tetapi tetap membutuhkan infrastruktur konektivitas seperti pelabuhan dan bandar udara, bahkan sifatnya vital, baik untuk mobilitas warga maupun wisatawan.

Sebuah bandara kecil cukuplah, tetapi banyak pelabuhan/dermaga yang dibutuhkan untuk konektivitas antarpulau, termasuk logistik.

Pemerintah Pusat menaruh perhatian pada Mentawai karena merupakan salah satu wilayah 3-TP (terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan).

Untuk menunjang pariwisata Mentawai, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah membangun bandara baru, yakni Rokot Sipora baru, dengan panjang landasan pacu atau runway 1.500 meter yang dapat didarati pesawat sekelas ATR-600 berkapasitas 78 penumpang.

Bandara Mentawai baru memiliki terminal berukuran 1.600 meter persegi yang mampu menampung penumpang sebanyak 53.881 orang per tahun.

Sebelumnya, bandara perintis (Rokot Sipora Lama) dengan landas pacu 850 meter hanya bisa didarati pesawat berbaling-baling atau  propeller sekelas Cessna Grand Caravan berkapasitas 12 orang.

Naik pesawat kecil seperti ini tentu kurang nyaman karena goncangan angin dan awan terasa sekali.

Namun, sebagai wilayah kabupaten kepulauan, konektivitas jalur laut antarpulau dan dari Padang – Mentawai amat vital untuk mobilitas penumpang dan barang.

Penyeberangan dari Padang ke Mentawai dilayani dengan kapal feri dari Pelabuhan Teluk Bungus ke Tuapejat atau Sikakap (Pagai Selatan).

Sementara, pelayaran antarpulau saat ini dilayani dengan kapal cepat MV Mentawai Fast, operator swasta yang bekerja sama dengan pemerintah kabupaten (pemkab).

Dalam hal ini, pemkab akan menyubsidi operator ketika muatan atau load factor kurang dari 60 persen, sesuai dengan jumlah kursi /penumpang untuk mencapai muatan 60 persen tersebut.

Rute yang dilayani kapal cepat ini adalah Tuapejat-Siberut Selatan (Siberut) – Siberut Utara (Sikabaluan), dan Tuapejat – Sikakap. Sementara, rute yang tidak dilayani oleh kapal cepat, dilayani dengan kapal milik pemkab.

Namun, terdapat satu wilayah kecamatan yang belum memiliki dermaga, yakni Kecamatan Siberut Tengah.

Hal ini menyebabkan kesulitan untuk mobilitas penduduk dan distribusi logistik. Akibatnya, harga bahan-bahan kebutuhan pokok relatif  mahal.

Padahal Desa Saibi Samukop, yang menjadi tempat kedudukan pusat pemerintahan Kecamatan Siberut, luasnya lebih dari 1.000 kilometer persegi, jauh lebih luas dari Daerah Khusus Jakarta.

Secara umum konektivitas wilayah Pulau Siberut dan wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai masih memprihatinkan akibat belum terbangunnya konektivitas transportasi darat antarwilayah kecamatan, terutama di luar Pulau Sipora.

Penyelesaian pembangunan jalan Trans Mentawai yang direncanakan sepanjang 393 kilometer menjadi kunci untuk memperlancar mobilitas para wisatawan/penduduk lokal, dan terutama menurunkan biaya logistik wilayah bersinergi dengan pelabuhan.

Pembebasan lahan dan pembukaan jalan tanah oleh pemkab ditargetkan selesai tahun 2024, dan rencananya dilanjutkan dengan peningkatan jalan (pengerasan jalan dengan beton/aspal) oleh pemerintah pusat (KemenPUPR) dengan dana APBN.

Namun, kelanjutan pembangunan jalan Trans Mentawai tahun ini, khususnya di Pulau Siberut, tampaknya belum juga terlaksana. Hal ini karena sebagian rencana trase jalan melewati kawasan Taman Nasional dan kawasan hutan produksi.

Maka, prosedur perizinan perlu ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kita harapkan dapat segera kelar sehingga pembangunan Trans Mentawai dapat dilanjutkan.

Konektivitas udara, laut, dan darat perlu eksis dan saling bersinergi untuk mendukung pengembangan pariwisata dan wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam koridor pembangunan berkelanjutan.

Selain jaringan jalan, kawasan wisata bahari Mentawai membutuhkan prasarana air bersih, prasarana pengelolaan sampah, pos-pos keamanan, dan mungkin area-area evakuasi.

Hingga batas tertentu masih diperlukan pengembangan kawasan resor dan homestay berstandar internasional untuk mendukung event-event olahraga selancar internasional yang diharapkan akan dapat terselenggara di Mentawai.

Pariwisata keberlanjutan

Pengelolaan pariwisata Mentawai, selain perlu dengan pendekatan keberlanjutan (sustainable tourism), juga bersifat inklusif.

Dalam hal ini, diperlukan institusi pembina seperti BUMN atau perusahaan swasta untuk berperan dalam mendorong digarapnya peluang dalam mengembangkan destinasi pariwisata di Mentawai yang berkelanjutan dengan mendorong keterlibatan masyarakat lokal sebagai aktor utama untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas pariwisata.

Salah satu holding BUMN di sektor pariwisata dan aviasi, InJourney, misalnya, mulai merangkul kelompok- kelompok tani, antara lain, di Desa Wisata Muntei, Siberut Selatan.

Oleh karena itu inisiatif InJourney dalam mempersiapkan program pelatihan dan pendampingan bagi petani lokal perlu untuk direplikasi. Perusahaan itu memastikan

agar petani dapat menghasilkan sayur dan buah-buahan organik sesuai dengan kebutuhan offtakers sektor pariwisata yaitu resor dan homestay yang ada di Mentawai dengan pendekatan from farm to table.

Hal ini diharapkan tidak hanya memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat, namun juga membantu mengurangi ketergantungan terhadap pasokan dari luar daerah, khususnya dari Padang.

Saat ini, sekitar 80 persen kebutuhan bahan pangan di 63 resor dan homestay di Mentawai dipasok dari luar daerah.

Oleh karena itu, perlu dimulai sebuah inisiatif pengembangan sektor pertanian dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari mendorong peran pemerintah daerah dalam membuat regulasi yang mendukung pemanfaatan produk pertanian lokal, peran akademisi dalam menganalisis potensi dan implementasi teknologi pertanian, keterlibatan pemilik resor dan homestay sebagai offtakers, serta pemberdayaan masyarakat lokal dengan harapan tercipta ekosistem pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan di Mentawai.

Pengembangan pertanian organik yang terintegrasi ini membutuhkan sarana dan prasarana mulai dari demplot, kandang sapi, unit pengolahan pupuk organik, pusat pengolahan dan pengepakan, unit gudang dingin, kendaraan logistik, dan lainnya.

Kelompok tani ini kemudian dihimpun melalui pembentukan koperasi-koperasi pertanian di masing-masing desa wisata.

Model balai ekonomi desa (balkondes), seperti yang dikembangkan di desa-desa wisata sekitar Borobudur, Jawa Tengah, dapat diterapkan di Mentawai.

Melalui pendekatan pariwisata berkelanjutan yang inklusif tersebut, maka kesejahteraan warga lokal dapat terangkat dan dapat menciptakan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.

*) Penulis adalah pemerhati pariwisata berkelanjutan.

Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024



Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *