“PPOK merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah, dan diobati. Peran tenaga medis dalam memberikan diagnosa yang tepat dan lebih dini menjadi penting, sehingga dapat mengurangi perkembangan penyakit dan risiko kondisi yang lebih buruk atau komplikasi pada penderita PPOK,” kata Dokter Spesialis Paru Dr. dr. Susanthy Djajalaksana, Sp.P(K) dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Lewat seminar ilmiah bertajuk “Teknologi Inhaler dan Sistem Penghantaran Obat untuk Pengendalian Penyakit Paru” yang digelar di Jakarta, Kamis (23/5), Susanthy menuturkan PPOK merupakan salah satu penyakit yang mengganggu paru-paru sehingga mengalami peradangan dalam jangka waktu lama.
Baca juga: Waspada kondisi perburukan gejala pada PPOK
Baca juga: Mengenal penyakit paru obstruktif kronis
Penyakit obstruksi paru yang menahun ini bersifat progresif atau dapat memburuk sejalan dengan waktu. Namun dengan pengobatan yang tepat, penderita penyakit obstruktif menahun dapat terbebas dari gejala dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), PPOL merupakan penyebab kematian ketiga di seluruh dunia, dengan angka kematian penderita PPOK mencapai 3,23 juta orang pada tahun 2019.
Di Indonesia, PPOK disebabkan karena pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, antara lain meningkatnya perokok pada kelompok usia muda, dan pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan atau di tempat kerja, serta meningkatnya usia harapan hidup.
Menurut dia penggunaan inhaler dengan kandungan tiotropium bromide menjadi metode medis untuk mengendalikan dan mencegah gejala yang timbul akibat asma dan penyakit PPOK. Tiotropium mampu mengendalikan gejala, bekerja dengan cara merelaksasi dan melebarkan otot pada saluran pernapasan sehingga penderita PPOK dapat bernapas dengan lebih mudah.
Sementara itu, Ketua Pokja Asma PPOK PDPI dr. Budhi Antariksa, Ph.D, Sp.P(K) menanggapi bahwa tiotropium bisa jadi pilihan pengobatan yang bermanfaat bagi pasien dengan kondisi pernapasan kronis, telah terbukti secara klinis mampu meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi sesak napas, serta gangguan pernapasan akut.
Berdasarkan pengalaman penggunaan tiotropium pada pasien PPOK, penggunaan obat ini secara teratur terbukti tidak hanya membantu penderita ketika mengalami sesak napas, tetapi juga dapat meminimalkan efek penyakit dalam kehidupan sehari-hari.
Presiden Direktur PT Actavis Indonesia Hanadi Setiarto menambahkan peran aktif tiotropium dalam membuka hambatan pernafasan melalui relaksasi otot saluran pernafasan, sehingga udara dapat masuk dan keluar paru tanpa hambatan.
Penggunaan teknologi ZONDA inhaler memastikan kadar tiotropium yang terukur dan efektif dalam mengontrol pembukaan saluran pernafasan, meski penggunaanya tetap harus di bawah pengawasan dokter atau ahli.
“Penggunaan tiotropium secara rutin dapat membantu penderita ketika sedang sesak napas, juga meminimalkan efek penyakit dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penderita dapat tetap melakukan aktivitas dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” ujarnya.
Baca juga: Dokter: PPOK tidak bisa sembuh gejala bisa dikurangi dengan terapi
Baca juga: Dokter paru: Sesak napas PPOK bersifat persisten dan progresif
Baca juga: Dokter: Perokok sangat rentan terkena penyakit mematikan ketiga dunia
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024