“Ide cerita film ini merupakan cermin kegelisahan yang muncul dari pengalaman pribadi saya. Saya kembangkan dan menulis naskahnya bersama dengan Jemima (penulis naskah), saya melihat hampir setiap hari di media sosial banyak tindak kekerasan seksual, bullying hingga masalah mental sering menimpa para remaja,” kata Rudi Soedjarwo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Rudi Soedjarwo menuturkan melalui film yang diproduksi oleh rumah produksi rintisannya yakni ReXcorp itu, dia berupaya untuk mengeksplorasi isu-isu yang dirasa perlu lebih sering dibicarakan secara terbuka di masyarakat. Film itu juga dipicu kekhawatiran pribadi memberikan pola asuh yang salah pada sang anak sampai merasakan lingkungan pendidikan yang kurang bisa menunjang tumbuh kembang anaknya, misalnya perundungan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, trauma masa kecil hingga mencintai diri sendiri.
Baca juga: Film “Saat Menghadap Tuhan” terinspirasi dari sisi gelap remaja
Melalui film itu Rudi Soedjarwo ingin menjadi pemantik bagi masyarakat untuk mulai berpikir siapa yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan membimbing setiap anak serta mengajak semua pihak untuk berusaha mengenali diri sendiri dan menggali kehidupan secara mendalam.
Menurut dia, film “Saat Menghadap Tuhan”, juga ditujukan sebagai pemantik dialog, untuk selalu mempertanyakan dogma-dogma yang dijejalkan oleh masyarakat serta merta.
“Saya berharap film ini mampu mendorong penonton untuk berani vokal, bertindak, hingga memutus rantai trauma dan luka batin yang disebabkan oleh generasi pendahulunya,” ujar dia.
“Saat Menghadap Tuhan” adalah sebuah film yang berfokus pada kisah empat remaja dengan masalahnya masing-masing, yang disatukan oleh tali kenestapaan yang sama yakni penyesalan. Damar (Rafi Sudirman) adalah seorang pemuda yang ingin membahagiakan ibunya, namu,n tumbuh dengan trauma dan kemarahan akibat menyaksikan kematian sang ayah di tangan seorang preman.
Dia memiliki teman kecil dengan latar belakang keluarga tidak utuh bernama Gito (Abielo Parengkuan) yang tidak memiliki komunikasi sehat dengan orang tuanya. Alhasil, dia tumbuh menjadi anak yang kikuk secara sosial dan sering jadi sasaran perundungan.
Berbeda cerita dengan Nala (Denisha Wahyuni), yang hidup dalam keluarga yang gagal menjadi ruang aman dan lingkar pelindung utamanya bagi anggota keluarga perempuan. Nala menemukan ketenangan dalam bermusik.
Sementara Marlo (Dede Satria) adalah sosok jagoan di sekolah yang memiliki orang tua kaya raya dan tumbuh dengan bahasa cinta berwujud kekuasaan. Dibesarkan oleh sang ayah yang biasa membuatnya merasa kecil, Marlo kemudian tumbuh menjadi perundung dan membuat orang lain merasa kerdil, rantai trauma yang diteruskan antargenerasi.
Baca juga: Peran Dede dan Gilbert dalam film “Saat Menghadap Tuhan”
Baca juga: Film “Suanggi: Ilmu Terkutuk” kuak misteri ilmu hitam dari tanah Papua
Baca juga: Bryan Domani ungkap alasan yakin bermain film horor di “Temurun”
Baca juga: Hanung Bramantyo dalam kacamata pemain “Tuhan Izinkan Aku Berdosa”
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024