Ayo kita lebih rajin outdoor, keluar rumah, supaya kena sinar Matahari dan paparan vitamin D,
Jakarta (ANTARA) – 13 tahun lalu, pengarang buku “Jessy and the 4G’s”, Jessy fnu, bercerita bahwa dia tiba-tiba saja pingsan. Karena merasa begitu lemah dan sedikit minder, dia memutuskan pergi ke rumah sakit dan menemui dokter.
Jessy bingung karena saat itu dia merasa sehat, fisiknya pun terlihat normal tapi didiagnosis sakit.
Tak puas dengan hasil diagnosis itu, dia juga memeriksakan diri sampai ke multiple sclerosis center di Jepang. Di sana, dengan pemeriksaan lengkap, Jessy dipastikan mengalami sklerosis multipel (multiple sclerosis – MS).
Memiliki MS membuat Jessy sadar bahwa dia mengalami kemunduran kualitas hidup. Gangguan ini biasanya memicu emosi-emosi tertentu yang bisa berdampak negatif kepada diri sendiri, bahkan orang lain.
Namun, Jessy berusaha mengatasinya dengan diam sejenak untuk berdoa, lalu setelah itu menghubungi saudara, teman, atau siapa pun yang membuat dirinya merasa nyaman dan percaya untuk mendiskusikan keadaannya saat itu.
Dengan cara itu, ia bisa mencari opsi-opsi yang terbaik untuk bisa dilakukan.
Jessy percaya perjalanan hidup dengan MS akan terasa lebih ringan dan menyenangkan jika dilalui bersama dengan teman-teman daripada dihadapi sendirian.
Jessy adalah penyintas MS di Indonesia yang berhasil bersahabat dengan penyakitnya. Namun, mungkin sebagian orang ada yang belum mengenal dengan baik penyakit ini.
MS merupakan kondisi autoimun, kronis, dan inflamasi yang memengaruhi sistem saraf pusat.
Neurolog lulusan Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Dr dr Rocksy Fransisca V Situmeang, Sp.S menjelaskan MS merupakan penyakit kronis, yang artinya berlangsung dalam kurun waktu cukup panjang.
“Penyandang MS bisa berpuluh-puluh tahun hidup dengan MS, kemudian dia menyerangnya. Organ yang diserang adalah sistem saraf pusat. Yang dimaksud sistem saraf pusat itu adalah otak dan saraf tulang belakang,” kata Rocksy dalam seminar kesehatan di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pekan ini.
Akibatnya, komunikasi di saraf menjadi terganggu dan memunculkan gejala-gejala sklerosis multipel.
MS bisa terdiagnosis pada siapa saja, walaupun potensi lebih tinggi terserang MS pada kelompok orang berusia muda, usia 20 sampai 50 tahun.
Selain itu, penyandang MS cenderung lebih banyak diidap perempuan dibandingkan laki-laki. Rasio secara global, tiga perempuan berbanding satu laki-laki (3:1).
“Kalau dihitung nilai tengahnya, yang terserang itu umur 32 tahun,” kata Rocksy.
Sejak dahulu, negara tropis seperti Indonesia, cenderung lebih sedikit populasi penderita MS-nya dibandingkan negara-negara subtropis.
Dengan menerapkan pola hidup sehat seperti rajin berolah raga di luar ruangan saat pagi hari, maka sinar Matahari yang melimpah di negara tropis ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh.
“Ayo kita lebih rajin outdoor, keluar rumah, supaya kena sinar Matahari dan paparan vitamin D,” ajak Rocksy.
Pola hidup bersih juga diterapkan dengan menjaga higienitas makanan dan minuman agar terhindar dari cemaran limbah dan polusi.
Gejala sklerosis MS bervariasi pada setiap pengidapnya. Namun, MS dapat dirasakan seorang perempuan berusia muda jika mempunyai gejala-gejala, misalnya, tiba-tiba mata menjadi kabur sebelah sehingga penglihatan terganggu.
Umumnya gangguan datang dengan keluhan adanya kelemahan pada anggota gerak lengan atau tungkai.
Bisa juga adanya kebas atau kesemutan, kepala pusing berputar-putar, nyeri, gangguan pada konsentrasi atau fungsi mengingat, gangguan pada buang air kecil atau berkemih, dan ada banyak lagi gejala lain.
Bermacam gejala MS membuat orang awam kadang menyebutnya sebagai penyakit dengan seribu wajah.
Namun, hal itu berbeda dengan lupus. Pada penyakit MS, antibodi menyerang hampir semua fungsi sistem saraf pusat, sementara pada lupus, antibodi menyerang seluruh organ tubuh lainnya.
“Jika ada gejala-gejala seperti itu, segera ke dokter saraf,” kata Rocksy.
Rocksy menganjurkan pasien dengan gejala-gejala MS datang ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf atau dokter spesialis neurologi.
Biasanya dokter akan menyarankan pemeriksaan tambahan seperti MRI pada kepala dan saraf tulang belakang.
Kadang-kadang dokter juga membutuhkan kontras dalam MRI-nya, yang disuntik suatu zat supaya lebih jelas gambar pencitraan kepala dan saraf tulang belakangnya.
Biasanya setelah MRI, dokter sudah bisa menegakkan diagnosisnya bahwa pasien menderita MS atau bukan.
Akan tetapi, jika dokter belum bisa menegakkan diagnosis, dia akan meminta pengambilan cairan otak dari punggung pasien untuk pemeriksaan lumbal pungsi, prosedur medis yang dilakukan untuk mengakses cairan serebrospinal (CSF).
Juga melakukan pemeriksaan antaran saraf atau yang dikenal juga sebagai evoked potentials (EPs).
Selain itu, untuk menyingkirkan diagnosis banding, dokter kadang menyarankan pemeriksaan darah karena ada beberapa penyakit yang mirip dengan MS, seperti pada penyakit-penyakit infeksi.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibutuhkan untuk membuktikan bahwa itu bukan penyakit infeksi. Jika diagnosis sudah tegak, selanjutnya dilakukan pengobatan.
Cara pengobatan MS
“Obatnya macam-macam, mungkin ada lebih dari 20 macam obat yang kami sebut disease modifying treatment. Akan tetapi di Indonesia, kita hanya punya dua, ada yang bentuk suntikan dan ada yang bentuknya tablet,” kata Rocksy.
Setelah itu pengobatan dihentikan, seterusnya tidak perlu memakan obat lagi, kecuali dokter merekomendasikan tindakan lain.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024