Hukum  

BNPT: Harmoni dalam keberagaman lewat revitalisasi tenggang rasa

Jakarta (ANTARA) – Ketua Gugus Tugas Pemuka Agama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perwakilan dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt Jimmy Sormin mengatakan tenggang rasa masyarakat Indonesia perlu direvitalisasi untuk mewujudkan harmoni dalam keberagaman.

Salah satu tenggang sosial yang ada di masyarakat terkait polemik pengeras suara di rumah ibadah, menurut Pdt Jimmy, masyarakat memiliki akar budaya tenggang rasa yang cukup tinggi, sehingga mampu saling menghargai dan memberikan pengertian dalam kehidupan bertetangga.

“Sebenarnya di masyarakat kita umumnya memiliki modal sosial yang sudah mengakar lama, yakni saling menghargai dan mengedepankan kepentingan bersama. Hanya saja hal tersebut perlu direvitalisasi,” kata Pdt Jimmy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, sekalipun sudah ada peraturan dari pemerintah, khususnya oleh Kementerian Agama RI terkait aturan penggunaan pengeras suara tersebut, namun tanpa modal sosial, peraturan dimaksud tidak akan ditaati oleh sebagian warga masyarakat.

Pdt Jimmy yang juga menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) itu menyampaikan bahwa menjalankan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang diyakini perlu menghargai etika sosial. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan dalam menjalankan keimanan tidak menjadi penghambat lancarnya komunikasi antar masyarakat.

Menurut dia, masyarakat Indonesia perlu menyeimbangkan antara kebebasan beragama dengan etika sosial. Untuk itu, sikap tenggang rasa diharapkan bisa dikedepankan dalam membangun hubungan sesama manusia.

“Kita perlu mengingat dan menegakkan kembali prinsip yang ideal, bahwa kebebasan masing-masing individu juga dibatasi dengan kebebasan orang lain. Hak dan kebebasan yang melekat pada setiap manusia itu perlu diatur agar diakui, dipenuhi, dan dilindungi oleh negara, yakni melalui hukum yang telah berlaku,” katanya.

Dia menekankan, bahwa penegakan hukum yang tegas dan adil, masyarakat bisa terdidik untuk hidup dalam ketaatan akan hukum. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum yang berlaku akan membantu memperkuat etika sosial di masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut dia mengatakan tenggang rasa adalah modal sosial yang telah diwariskan sejak nenek moyang bangsa Indonesia.

Menurut dia, kesadaran akan etika sosial harus dihidupkan kembali melalui praktik-praktik yang membangun masyarakat untuk saling peduli, menghargai, dan bekerja sama. Dengan begitu, tidak terjadi lagi benturan antara kebebasan beragama dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Di sisi lain, mengenai upaya membangun kesepahaman antar umat dengan ragam keyakinan, Pdt. Jimmy mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyisipkan nilai kebangsaan pada materi pendidikan formal maupun informal.

“Negara berkewajiban untuk memberi pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak bagi setiap warganya, apapun agama dan keyakinannya. Segala bentuk upaya pengembangan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan itu juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang tegas dan adil,” ujarnya.

Dia pun berharap agar masyarakat sipil dapat saling berkolaborasi untuk terus membangun ruang-ruang perjumpaan dan dialog, serta menghayati nilai-nilai Pancasila dalam kesehariannya. Hal ini bisa diwujudkan melalui upaya menyejahterakan kehidupan bersama, agar tidak terjadi jurang yang lebar antarkelas sosial, menghormati kemanusiaan sesama anak bangsa, serta aksi-aksi bersama dalam merespons berbagai masalah yang terjadi tengah masyarakat.

Pdt. Jimmy menambahkan, terlepas apapun rumah ibadahnya, seyogyanya menjadi sarana yang terus membantu menghadirkan kenyamanan dan keharmonian dalam masyarakat yang majemuk. Rumah ibadah seharusnya menjadi simbol perdamaian dan keindahan dalam hidup beragama.

Dia juga menyoroti soal kesenjangan sosial yang timbul akibat praktik intoleransi di masyarakat. Mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah dengan unsur civil society, khususnya dari organisasi masyarakat berbasis keagamaan.

Bahwa, lanjut dia, pemerintah perlu bersinergi dengan seluruh stakeholders. Jika mengacu pada program pentahelix yang digagas BNPT, bersinergi artinya tidak semata ketika terjadinya permasalahan, tetapi lebih menerapkan perspektif pencegahan, serta mengupayakan prinsip pengakuan, pemenuhan, serta perlindungan bagi setiap warga negara secara konsekuen.

“Faktor-faktor penyumbang masalah kesenjangan sosial itu sendiri, seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan, harus diupayakan bersama untuk tidak terus menyulut kebencian atau tindakan negatif lainnya antarkelompok masyarakat. Perdamaian tanpa kehadiran keadilan bagi seluruh masyarakat tidaklah akan bertahan lama,” kata alumni Gadjah Mada University Studies Master of Arts (M.A.), Religious and Cultural Studies itu.

Baca juga: BNPT cegah paham radikal dengan program sekolah damai

Baca juga: RI ajukan pendekatan penanganan anak korban terorisme di sidang CCPCJ

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024



Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *