Dokter: Cegah penyakit jantung koroner sejak usia 35-40 tahun ke atas

Jakarta (ANTARA) – Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Universitas Indonesia dr. Prima Almazini Sp.JP, Subsp. Eko (K), FIHA, mengatakan pencegahan penyakit jantung koroner pada usia lanjut sebaiknya dilakukan sejak seseorang berusia 35-40 tahun ke atas.

Sebab, faktor risiko yang menyebabkan proses penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah arteri koroner oleh plak, pada usia tersebut mulai tampak karena sudah berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.

“Sejak usia muda, sebenarnya sudah terjadi secara bertahap (pembentukan plak) pada dinding-dinding pembuluh darah. Lama-lama semakin menebal dan menimbulkan penyumbatan atau penyempitan di pembuluh darah hingga akhirnya serangan jantung atau henti jantung mendadak pada usia lanjut (56 tahun ke atas),” kata Prima dalam seminar daring bertajuk “Bicara Sehat ke-96 RS UI: Mengenal Penyakit Jantung Koroner” yang dilihat di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Dokter anjurkan minum obat hipertensi sampai tekanan darah normal

Dia mengatakan bahwa di dunia, setiap tiga detik ada yang meninggal karena penyakit jantung koroner atau stroke. Di Indonesia, satu dari 10 orang meninggal dunia karena penyakit jantung koroner.

 

Total biaya pelayanan yang dihabiskan penyakit jantung sebesar Rp7,4 triliun dan terbanyak dari seluruh jenis penyakit pada 2016.

 

“Sehingga kita perlu melakukan upaya-upaya untuk menangani dan juga yang penting adalah untuk mencegah. Selain dari angka kematiannya yang tinggi, efeknya terhadap pembiayaan kesehatan juga sangat tinggi,” kata Prima.

Timbulnya plak dapat terjadi karena sejumlah faktor risiko, di antaranya hipertensi atau tekanan darah di atas 140 per 90 mmHg, diabetes melitus atau kadar gula darah tinggi, dan obesitas atau indeks massa tubuh (IMT) melebihi standar atau melebihi angka 25,0 setelah dihitung memakai rumus IMT, yaitu berat badan dibagi tinggi badan dikuadratkan.

Faktor risiko berikutnya adalah kolesterol tinggi (dislipidemia) dan merokok. Menurut Prima, faktor risiko itu hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan kesehatan secara rutin, konsultasi dokter, serta pemeriksaan laboratorium.

Jika faktor risiko ditemukan, maka seseorang segera berhenti merokok, berolahraga secara teratur, lakukan diet seimbang dan istirahat cukup, serta kelola stres dengan baik agar mengurangi risikonya.

“Lakukan adopsi gaya hidup sehat seperti mengurangi garam, gula, makanan mengandung minyak hingga santan dan jeroan, melakukan aktivitas fisik teratur, dan teruskan kontrol faktor risiko dengan cek kesehatan rutin, lakukan konsultasi dokter hingga pemeriksaan laboratorium,” kata Prima.

Baca juga: Dokter tekankan gaya hidup sehat cegah penyakit jantung koroner

Prima mengatakan orang yang mengalami henti jantung mendadak atau serangan jantung biasanya tidak memiliki gejala sebelumnya sehingga penyakit jantung koroner disebut juga sebagai the silent killer, pembunuh dalam senyap.

“Karena sumbatan yang timbulnya bertahap tadi sudah mencapai puncaknya, artinya aliran darah sudah tidak lagi lancar, nutrisi juga tidak lancar, otot-otot jantung terganggu fungsinya dan itu akan mengakibatkan kerusakan pada tubuh secara keseluruhan,” kata Prima.

Gejala khas yang dapat dirasakan oleh pengidap penyakit jantung koroner adalah keluhan nyeri dada atau tertekan berat di area dada selama lebih dari 20 menit disertai rasa terbakar bahkan sampai keringat dingin membasahi semua badan atau gejala lainnya seperti lemah, rasa mual dan pusing. Kalau sudah terjadi, maka pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi yaitu dengan terapi meliputi pemberian obat-obatan hingga pemasangan ring.

“Terapi pemasangan ring ini hanya ditujukan untuk pengobatan, bukan pencegahan. Karena kalau belum tampak sumbatan atau penyempitan pembuluh darah, bagaimana bisa tahu di area mana plaknya menumpuk,” kata Prima.

Sedangkan pengobatan dengan operasi disebut dengan operasi by pass atau upaya menyambungkan dari pembuluh darah aorta yang memberikan suplai darah ke seluruh tubuh ke pembuluh darah koroner. Sambungan itu terletak lebih tinggi atau di atas dari pembuluh darah yang menyempit atau tersumbat.

“Tujuannya sama, intinya ingin memperlancar aliran darah dengan adanya sambungan itu sehingga semua otot jantung dapat mendapatkan aliran darah yang optimal,” kata Prima.

Baca juga: Orang Asia lebih rentan terkena hipertensi dibanding ras lainnya

Baca juga: 8 perubahan gaya hidup untuk menurunkan kolesterol

Baca juga: Gangguan makan pengaruhi orang dengan diabetes yang bergantung insulin

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2024



Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *