Kisah Tanduria bangkitkan minat berkebun masyarakat urban

Jakarta (ANTARA) – Lima pemuda di Kota Malang, Jawa Timur, yang disatukan oleh keinginan membangun bisnis di bidang pertanian, sekaligus berupaya menumbuhkan rasa minat masyarakat, terutama di wilayah perkotaan, terhadap kegiatan berkebun, mendorong mereka untuk mendirikan Tanduria.

Nama Tanduria merupakan akronim dari “tandur dengan ceria”. Tandur diambil dari bahasa Jawa sebagai sebutan menanam padi tradisional. Jenama itu kini menjadi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berfokus pada retail peralatan berkebun serta edukasi bertanam yang berbasis di Malang.

Perjalanan usaha patungan itu dimulai dari tahun 2021, kala pandemi COVID-19 masih melanda Indonesia. Seorang alumni Teknik Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bernama Habib Thabrani bersama empat teman kampusnya berinisiatif untuk mendirikan usaha dengan modal awal Rp5 juta.

Modal tersebut dikumpulkan dari hasil patungan Habib bersama empat temannya yang berasal dari simpanan pribadi masing-masing.

Dari modal yang dihimpun, Habib dan kawan-kawan menyewa tempat tinggal yang juga berperan sebagai pusat operasional, membeli peralatan berkebun yang bisa dijajakan, dan kelengkapan pendukung lain sebagai permulaan dari bisnis mereka.

Modal awal yang sekitar Rp5 juta itu digunakan membeli barang seadanya. Selain itu juga digunakan untuk mengontrak rumah, alat-alat buat usaha, serta membeli alat untuk keperluan packing.

Mereka yang awalnya tinggal di Surabaya, kemudian pindah ke Malang dan menyewa sebuah rumah dua lantai secara bulanan sebagai kantor operasional, sekaligus tempat tinggal hingga saat ini.

Lantai bawah rumah itu mereka manfaatkan sebagai tempat usaha dan kantor operasional, sedangkan lantai atas digunakan untuk beristirahat.

Menariknya, tidak ada satupun pendiri usaha itu yang memiliki latar belakang pendidikan maupun pengalaman di bidang pertanian, termasuk Habib yang berlatar belakang disiplin ilmu Fisika.

Kendati demikian, mereka memiliki minat terhadap tanaman karena menilai bahwa ilmu-ilmu sains yang dipelajari di bangku perguruan tinggi memiliki kaitan erat dengan kelangsungan hidup suatu tumbuhan.

Habib bercerita awal perkenalannya dengan hobi berkebun adalah ketika dia mencoba menerapkan teknik menanam hidroponik, metode budi daya yang tidak menggunakan media tanah, tetapi menggunakan medium air yang berisi zat hara.

Menurut pria berusia 30 tahun itu, ilmu-ilmu sains yang dia ketahui cukup membantu dalam proses menanam dengan metode hidroponik, seperti perhitungan soal komposisi pupuk yang digunakan, hingga unsur-unsur pendukung yang membantu tanaman bisa tumbuh dengan baik.

Di hidroponik itu, selain ada pupuk juga kadar oksigen di dalam air harus diperhatikan, termasuk kelembaban dan suhu. Semua itu ada dalam ilmu fisika. Dari itulah Habib dan kawan-kawan menemukan sesuatu yang lebih sains dari ilmu yang dipelajarinya di kampus, yaitu tanam-tanaman itu sendiri.

Dirinya juga menilai bahwa kondisi alam Indonesia sebagai negara agraris sangat cocok untuk kegiatan tanam-menanam, namun masih banyak masyarakat, terutama di perkotaan, yang belum tergerak untuk mendalami hobi di bidang tumbuh-tumbuhan. Oleh karenanya, lewat usahanya, Habib berharap bisa mendorong minat masyarakat terhadap kegiatan bertanam.

Kecintaannya terhadap pertanian juga timbul setelah menonton film bertajuk “Kiss the Ground”. Film dokumenter tersebut berfokus pada dampak pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya terhadap kesehatan tanah.

Dari situ, Habib merasa bahwa pertanian seharusnya tidak hanya fokus pada mengejar hasil yang akan dipetik, tetapi juga harus memedulikan kesehatan tanah, karena pada akhirnya semua manfaat yang didapatkan manusia dari tanaman juga tak lepas dari peran penting tanah.

Kini, bisnis Habib dan kawan-kawan itu menjual berbagai perlengkapan berkebun, seperti pupuk organik, benih, peralatan berkebun, pestisida nabati, dan media tanam.

Dari beragam macam produk tersebut, pupuk organik menjadi yang paling banyak diproduksi, sekaligus paling diminati, yakni mencapai 60 hingga 70 persen dari total penjualan. Dalam satu bulan, UMKM itu bisa menjual hingga ribuan liter pupuk organik.

Setelah 3 tahun menjalankan bisnis, usaha yang dirintis anak-anak muda itu terbilang sukses dalam menjual berbagai peralatan berkebun, hingga membuat omzetnya berkisar antara Rp200 juta sampai Rp300 juta setiap bulan. Bahkan bisa lebih tinggi lagi pada akhir tahun.

Kegiatan yang dia jalani tidak hanya sebatas menjual peralatan berkebun. Sebagai upaya untuk mendorong minat masyarakat pada hobi tanam-menanam, Habib memanfaatkan platform jejaring sosial untuk membagikan kiat-kiat berkebun.

Akun di media sosialnya saat ini memiliki 531 ribu pengikut dengan konten tentang tips dan edukasi berkebun melalui media video pendek, seperti tips merawat tanaman di musim kemarau, teknik mencangkul, informasi media tanam, dan masih banyak informasi lainnya yang bisa membantu masyarakat yang ingin memulai hobi berkebun.

Selain itu, Habib dan kawan-kawan juga melakukan berbagai inisiatif lain, seperti kursus dan lokakarya mengenai pertanian di perkotaan serta menjalin kolaborasi dengan instansi pemerintah dan organisasi nirlaba untuk membagikan edukasi pertanian yang berkelanjutan.

Hobi berkebun apalagi menjadi petani memang tidak populer di kalangan anak muda, terlebih bagi mereka yang tinggal di kawasan urban. Ada yang karena larut dengan hiruk pikuk dunia kerja, merasa sulit mempelajari tekniknya, atau bisa jadi akibat ketersediaan lahan bebas tanam di perkotaan yang semakin sempit.

Namun, kaum muda lulusan perguruan tinggi teknik itu agaknya bisa menjadi bukti dan contoh bahwa berkebun atau bertani tidak sepenuhnya bisa ditinggalkan oleh generasi muda perkotaan. Pertanian menunggu sentuhan anak-anak muda, termasuk yang berpendidikan tinggi, untuk terjun.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024



Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *